Minggu, 16 Mei 2010




Dan dalam kesempatan kali ini kami akan mengulas tentang adanya mitos mengenai larangan menebang pohon besar. Semoga bermanfaat. . . ^_^














Sebagian besar masyarakat (khususnya masyarakat desa) percaya bahwa menebang pohon besar itu pamali (bahasa Sunda) atau tabu dilakukan karena mereka meyakini bahwa di dalam pohon besar terdapat “penunggu” yang mereka analogikan dengan makhluk halus. Bahkan ada beberapa masyarakat yang memberikan sesaji pada pohon yang dianggap angker. Misalnya saja masyarakat Bali yang secara rutin memberikan sesaji karena mereka percaya dengan memberikan sesaji akan memberikan keberkahan pada kehidupan mereka.

Mitos tersebut tidaklah benar dan bahkan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Larangan menebang pohon besar khususnya pohon besar yang terletak di pinggiran sungai atau aliran air lainnya lebih bertujuan kepada fungsi pohon itu sendiri. Mengingat bahwa pohon memiliki fungsi sebagai “wadah penyimpanan” air.

Telah menjadi rahasia umum bahwa ketersediaan air di bumi semakin menipis. Hal ini dibuktikan terjadinya kelangkaan air bersih di berbagai daerah tertentu di Indonesia seperti  di Jakarta. Jakarta merupakan salah satu contoh kawasan perkotaan yang dihadapkan pada isu kelangkaan air. Tingginya pertumbuhan penduduk, termasuk di dalamnya tingkat urbanisasi, menuntut besarnya penyediaan air bersih. Namun hingga saat ini, diperkirakan PDAM DKI Jakarta baru menyuplai 50% air bersih untuk warganya. Ironisnya, di tengah ancaman kelangkaan air tersebut, potensi air hujan di Jakarta yang mencapai 2.000 juta m3/tahun tidak teresap optimal karena hanya 26,6% yang teresap ke dalam tanah dan sisanya 73,4% terbuang sia-sia ke laut. Tentu saja, rendahnya resapan air di kawasan perkotaan pada umumnya dan di Jakarta khususnya, disebabkan pesatnya pembangunan yang tidak disertai dengan kesadaran penduduk  untuk penghijauan kembali daerah pinggir jalan atau daerah yang gersang akan pepohonan (sumber: Media Indonesia, 17 Maret 2010).

Kita ketahui bahwa bumi ini dijuluki sebagai planet air karena sebagian besar permukaannya dan sebagian lainnya didalam perut bumi adalah air. Tetapi sebagian besar air di bumi ini, sekitar 97% adalah air laut asin yang tersebar di seluruh samudra. Sisanya 3% adalah air tawar yang bisa dimanfaatkan manusia.  Sayangnya, 76 %-76,5 % air tawar itu tersimpan berupa es atau berada di  dalam perut bumi. Ini berarti, ≤ 1% air yang berada di permukaan bumi yang tersedia bagi biota serta dan manusia. Air permukaan itu mengalir di sungai, tergenang di danau, atau sebagai titik air di atmosfer. Persentase ketersediaan air ini dapat dilihat pada diagram dibawah ini.















Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa ketersediaan air tawar (Fresh water) sangatlah sedikit yakni kurang dari 1% yaitu hanya sekitar 0,037 %. Indonesia memiliki ketersediaan air peringkat ke-4 di dunia setelah Kanada, Myanmar, dan bekas Uni Soviet. Ketersediaan air bagi penduduk Indonesia sebenarnya 14,02 m2/kapita/tahun. Tetapi kenyataannya, hanya 47% penduduk yang bisa mendapatkan air bersih.

Pada dasarny air merupakan unsur utama bagi kehidupan mahkluh hidup di planet ini. Mahkluh hidup tidak akan mampu bertahan hidup tanpa mengkonsumsi air hanya dalam beberapa hari, tetapi tanpa mengkonsumsi makanan, mahluk hidup masih dapat bertahan dalam kurun waktu yang lebih lama, bahkan bisa beberapa minggu. Walaupun sekarang kita hidup dalam dunia yang sudah sangat modern, mahluk hidup tetap tidak akan mampu lepas dari kebutuhan terhadap air. Misalnya ketergantungan petani terhadap air dalam melakukan budidaya pertanian, industri, pembangkit tenaga listrik, dan transportasi.

Tetapi kini semakin jarang terdapat sumber-sumber air bersih, karena sumber-sumber air tersebut semakin banyak tercemar oleh limbah industri  yang tidak diolah dan dibuang begitu saja atau mencemari karena penggunaanya yang melebihi kapasitasnya untuk dapat diperbaharui. Perlu kita ketahui bahwa kita (penduduk bumi) tidak mengadakan perubahan radikal dalam hal tatacara memanfaatkan air, mungkin saja suatu ketika air tidak lagi dapat digunakan tanpa pengolahan khusus yang biayanya melewati jangkauan sumber daya ekonomi bagi kebanyakan Negara.

Indonesia merupakan salah satu negara yang dituding kurang perhatian dalam mengelola air. Masyarakat Indonesia kebanyakan masih tidak efisien dalam penggunaan air dan cenderung boros karena merasa air gampang didapat. Lalu banyak pabrik industri yang membuang limbah ke aliran sungai sekitar tanpa memperhatikan lingkungan. Karena kerongkongan kita selalu membutuhkan air, dan zat ini tak mungkin diganti oleh zat yang lain, maka, kita harus tetap mencadangkan dan tetap menjaga sumberdaya-sumberdaya yang mendukung ketersediaan air itu.

Gambaran yang sama bisa dilihat di kota-kota besar. Warga yang kaya, tidak lebih dari 20 persen, mempunyai akses air bersih lebih banyak dibandingkan warga lainnya. Air bersih yang digunakan untuk mencuci mobil misalnya, sangat berharga bagi warga yang kekurangan air. Mereka yang memiliki uang memang lebih tidak menghadapi masalah air sungai
yang tercemar karena mereka bisa mendapatkan air untuk mandi dan untuk minum dengan mudah. Tetapi, warga yang tinggal di pinggiran sungai, terpaksa mandi di air sungai yang tercemar dan terpaksa mengeluarkan uang lebih untuk membeli air bersih untuk minum.

Nampaknya, sudah waktunya kita belajar menghargai setiap tetes air. Hemat adalah kata kunci bagi mereka yang memiliki akses air bersih berlebihan untuk bisa menghargai air. Tidak perlu menunggu kekurangan air dan baru-baru kemudian menghematnya.

Dari beberapa fakta diatas seharusnya semua manusia harus berharap agar air diperlakukan dengan baik serta dijaga terhadap cemaran dan dimanfaatkan secara bijak karena air adalah bahan yang sangat bernilai bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Akan tetapi kenyataan tidak mengatakan demikian. Air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan.

Nah, masalah-masalah tersebut diatas mungkin tidak akan dapat diatasi, apabila kesadaran dari tiap-tiap individu penduduk bumi ini tidak menyadari akan pentingnya ketersediaan air bersih di masa yang akan datang. Kita mulai aja dari diri kita sendiri, dengan jalan tidak membuang sampah sembarangan, menggunakan air secara tepat guna, mulai menanam pohon, walaupun cuma dipekarangan kita.

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa mitos “Larangan Menebang Pohon Besar” ada benarnya juga yaitu tetap menjaga agar air tanah dapat terserap dengan maksimal, tidak alasan karena ponon besar ada penunggunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar